Jumat, 13 Juni 2008

MERATAS KRISIS PANGAN DENGAN DIVERSIFIKASI

MERATAS KRISIS PANGAN DENGAN DIVERSIFIKASI
By Moh Subhan

Indonesia adalah potongan surga," kata Syeikh Mohammad Syalthout saat mengunjungi dan melihat keindahan Indonesia. Penilaian mantan Syeikh Akbar Al-Azhar Mesir itu tidaklah berlebihan. Terutama, bagi orang Timur Tengah yang sehari-hari hanya melihat hamparan padang pasir yang tandus. Indonesia tidak hanya indah. Tapi, juga gemah ripah. Tanahnya subur. Apa saja bisa tumbuh di bumi pertiwi. Bukan hanya padi, tapi semua jenis tanaman palawija dan buah-buahan.
Dengan berkah kondisi alam seperti itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang kaya dan makmur. Masyarakatnya hidup sejahtera, kebutuhan pangan tidak hanya tercukupi, tapi tersedia melimpah ruah. Karena stok melimpah, harganya pun jadi murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Tetapi, apa yang terjadi saat ini sangatlah ironis. Dihamparan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Mereka kesulitan memperoleh asupan makanan yang layak. Sungguh sebuah kondisi yang sangat sulit diterima akal sehat, di negeri yang memiliki kekayaan SDA seperti Indonesia, rakyatnya sakit busung lapar dan gizi buruk.
Lebih ironis lagi, sudah ada penduduk miskin yang menjadi korban kemiskinan. Di Yahukimo, Papua, beberapa waktu lalu terjadi kelaparan masal. Di Makassar terdapat ibu hamil dan anak balitanya meninggal akibat kelaparan. Di Serang, Jawa Barat, rakyat makan nasi aking (nasi basi yang dijemur) yang sejatinya lebih layak dimakan ayam. Di Ronte Ndao, Nusa Tenggara Timur, rakyatnya banyak yang terkena busung lapar. Korban gizi buruk juga terus berjatuhan.
Beberapa waktu lalu, seorang balita di Mojokerto dan tiga di Temanggung, Jawa Tengah, meninggal setelah gagal melalui masa kritis akibat gizi buruk. Terakhir, Kabupaten Gorontalo menyatakan gizi buruk di daerahnya sebagai kejadian luar biasa (KLB) menyusul adanya lima pasien yang mendapat perawatan di Rumah Sakit Dunda. (Jawa Pos, 16/4).
Dari hari ke hari, kehidupan jutaan rakyat bukannya semakin sejahtera, melainkan semakin susah. Kehidupan demokrasi yang dideklarasikan sejak pecahnya reformasi 10 tahun silam tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang terjadi sebaliknya. Rakyat makin susah.
Pasti ada yang salah dengan negara ini. Telah terjadi salah urus (missmanagement) dalam penyelenggaraan negara ini. Potensi Sumber Daya Alam yang melimpah -yang sebenarnya hanya membutuhkan sedikit sentuhan- belum dikelola dengan baik. Akibatnya, limpahan rahmat Tuhan itu sama sekali belum bisa diandalkan untuk meningkatkan mutu kehidupan rakyat. Pemerintah larut dan hanya asyik dalam politik pencitraan diri. Mereka hanya berpikir bagaimana mempertahankan citra kepemimpinannya agar terus terjaga. Program-program untuk orang miskin tak lebih hanyalah program sulapan. Program itu hanya memberi kepuasan sesaat. BLT (bantuan langsung tunai) dan program sejenisnya adalah contoh faktual. Program instan itu tidak berangkat dari hati nurani, tapi semata demi menjaga citra pemerintah. Biar seolah-olah dianggap peduli terhadap nasib rakyat miskin. Memang program seperti yang diplaining (rencanakan) oleh pemerintah tidak ada jeleknya, tetapi yang lebih baik adalah bagaimana masyarakat miskin lebih maningkat taraf hidupnya.
Saatnya pemerintah melakukan muhasabah (mawas diri). Pemerintah perlu melakukan manajemen dan kontrollling, sehingga ketika panen raya harga tetap terkendali, saat tidak musim kebutuhan pangan masyarakat dapat dipenuhi. Tidak seperti sekarang ini, kehidupan rakyat semakin susah. Akibat gejolak pasokan dan harga komoditas pangan yang terus merangkak naik.
Demonstrasi pengusaha tahu dan tempe se Jabotabek menuntut stabilisasi harga kedelai merupakan fenomena gejolak pasokan dan harga komoditas pangan yang harus diwaspadai dan dicari solusinya. Kenaikan harga kedelai beberapa kali dari Rp 3500 menjadi Rp 7500 selama tiga bulan terakhir memposisikan pengusaha pada ketidakpastian. Munculnya double pressure dari konsumen dan pemasok kedelai ini sangat mencemaskan. Penolakan konsumen akibat harga naik berkepanjangan dan kontraksi modal usaha akibat harga jual tahu dan tempe yang mengakibatkan tidak dapat digunakan untuk membeli kedelai pada proses produksi berikutnya menjadikan pengusaha harus nombok modal dalam waktu tidak terbatas. Cepat dan pasti situasi ini akan mendorong pengusaha tahu dan tempe menuju jurang kebangkrutan. Dinamika fluktuasi pasokan dan harga komoditas pangan diperkirakan semakin sering terjadi karena terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan intensitas dan frekuensi bencana alam semakin meningkat, trade off kebutuhan pangan dengan energi serta persaingan penggunaan lahan antar komoditas akibat disparitas harga dan produktivitas. Turbulensi harga saat terjadinya musibah selain karena akibat kelancaran distribusi yang terganggu juga akibat spekulasi dan psikologis pasar akibat pemberitaan yang gegap gempita dan cenderung mengeksploitasi bencana tersebut sehingga seakan-akan seluruh Indonesia banjir dan ketahanan pangan terganggu, kamera televisi selalu menyorot sawah yang tergenang banjir tapi tidak diimbangi dengan menyorot sawah-sawah yang selamat yang jauh lebih banyak. Menajamnya persaingan penggunaan lahan untuk jagung dan kedelai akibat perbedaan pendapatan usaha tani dan kompetisi pemanfaatan minyak sawit untuk minyak goreng dan biofiul menjadikan titik equilibrium antara pasokan dan harga semakin rentan.
Liberalisasi perdagangan ASEAN memposisikan Indonesia pada dua kondisi yang dilematis antara menjadi pasar produk pangan dari luar atau mengekspor produk pangan domestik ke pasar internasional. Kesulitan paling fundamental adalah masalah kuantitas, kualitas dan kontinuitas serta harga dari produk kita yang kadang kurang kompetitif. Membanjirnya jenis buah-buahan, baru-baru ini di pasaran dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah dibandingkan produk lokal merupakan realitanya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Penyebab utamanya adalah biaya transportasi yang mahal, sebagai contoh biaya transportasi dari Medan ke Jakarta lebih mahal dibandingkan Bangkok-Jakarta. Sebab biaya transportasi di Indonesia tidak hanya biaya angkutan tapi faktor-faktor lain, seperti tingginya pungutan liar dan infrastruktur yang kurang menunjang serta belum adanya insentif transportasi produk pertanian. Semua pihak tahu, tetapi jalan keluarnya ternyata tidak sederhana, bagaikan lingkaran syetan. Kita harus mencarikan jalan jika petani sebagai tiang negara semakin tidak berdaya? Harus ada keberpihakan dalam menekan biaya produksi dan pemasaran produk pertanian termasuk tata niaganya agar daya saing komoditas pertanian semakin kuat. Hampir semua komoditas mulai padi, jagung, cabe, bawang merah, wortel, tomat, mangga, jeruk, duku, telur, ikan, daging ayam secara periodik selalu mengalami tekanan harga luar biasa saat panen raya. Ironisnya, seringkali kita juga tidak berdaya menahan harga komoditas pangan saat pasokan dalam negeri menurun. Tragis memang, pertanyaan yang mengemuka, apa solusinya agar masalah ini tidak berulang dan berulang kembali ? Target dan komitmen Kunjungan Presiden dan Wakil Presiden beserta Menteri terkait ke Departemen Pertanian pada pertengahan Januari 2008 lalu untuk mengadakan evaluasi kinerja program tahun 2007 dan rencana program 2008 merupakan momentum penting yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan gejolak pasokan dan harga komoditas pangan. Prestasi spektakuler pertama sejak 12 tahun terakhir dalam peningkatan produksi padi dan jagung masing-masing 4.8% dan 14.4% yang dicapai tahun 2007 harus didukung stock management dan harga yang sehat. Target peningkatan produksi tahun 2008 untuk padi naik 5%, jagung 20% dan kedelai 20% harus didukung komitmen kuat semua pihak. Stimulan harga komoditas yang menarik, dukungan rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi, pengendalian impor, subsidi pupuk, benih gratis, penyediaan modal dan reduksi losses secara sinergis, penyediaan sarana produksi pertanian tepat waktu, jumlah, kualitas, tempat harus dioptimalkan. Apalagi presiden telah menekankan bahwa program pemenuhan pangan dan kesejahteraan petani merupakan salah satu program utama Kabinet Indonesia Bersatu yang harus berhasil sekalipun mahal ongkosnya.Peningkatan produksi bahan pangan khususnya padi, jagung dan kedele akan membantu menyediakan bahan pangan yang terjangkau dan mengurangi ketergantungan kita kepada impor dan untuk kedele dapat mengurangi tekanan kenaikan harga kedele impor. Oleh karena itu, menjadi amat penting terbentuknya kemitraan antara produsen pengguna kedele dengan petani kedele untuk saling mendukung agar petani mampu memproduksi kedele dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini sangat memungkinkan mengingat lahan pertanian di negara ini masih cukup luas, mulai tersedianya benih kedele unggul dengan produktifitas yang relatif tinggi dan harga kedele yang menarik bagi usaha budidaya kedele dengan keuntungan yang menjanjikan.

Format Baru ”Diversifikasi”
Pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan diversifikasi pangan merupakan instrumen penting untuk mengurangi tekanan atas permintaan dan harga pangan. Perubahan mind set terhadap pangan seperti statement “belum dikatakan makan sebelum makan nasi”, persepsi terhadap tiwul, gaplek dan bahan pangan lainnya sebagai makanan orang miskin dan kelaparan mutlak harus dilakukan. Media harus memberikan kontribusi positif dalam mendorong diversifikasi dan bukan malah sebaliknya menyudutkan pemerintah dan memperolok masyarakat yang makanan pokoknya bukan nasi. Jika terdapat anggota masyarakat yang tidak mampu membeli beras tetapi membeli tiwul sebagai pengganti makanan pokoknya karena harganya lebih murah maka jangan dihina. Hal itu malah bagus karena dapat mengurangi permintaan terhadap beras dan melakukan diversifikasi ke bahan pangan yang lebih murah dengan gizi yang tidak terlalu inferior, apalagi jika dikombinasi dengan bahan pangan yang bergizi tinggi seperti ikan dan sayuran. Diversifikasi melalui kombinasi gandum dengan bahan pangan lokal untuk menghasilkan pangan bergizi, terjangkau dan prestisius merupakan pilihan lain. Keunggulan gandum dalam hal kandungan gluten, gizi, harga, kegunaan, ketersediaan, dan daya simpan harus dapat diintegrasikan dalam merancang pangan berbasis kombinasi gandum dan bahan pangan lokal. Naiknya harga gandum di pasar dunia merupakan momentum dan entry point ideal untuk mendorong terbentuknya format baru diversifikasi tersebut. Peluang sudah tersedia, saatnya banga ini bangkit dengan pangan hibrid agar bangsa ini tidak masuk ke perangkap krisis pangan.